Semoga saja jawaban yang kita temui adalah ketidak-merdekaan bangsa kita. Doa yang seolah memaksa ini sungguh di nanti-nanti oleh ghirroh perjuangan. Untuk apa mengingat nama pahlawan, perjuangan mereka serta pemimpin saat ini pula, jika ternyata kemerdekaan yang mereka pidatokan hanyalah omong kosong dibalik penderitaan yang masih dialami rakyat. Ya, pemimpin kita adalah orang bangsa Indonesia sendiri. Namun bukan berarti dia berdiri diatas kakinya sendiri. Bisa saja beberapa kaki mendirikan tubuh dan pikiran presiden yang asli dari warga Indonesia. Lantas kemudian, tidak ada bedanya, dipimpin oleh orang asli pribumi dengan kolonial saat itu. Artinya, samasaja bangsa Indonesia tetap – dalam penjajahanisasi.
Sampai saat ini, bisa dilihat betapa semangatnya pemerintah menjalin kerja sama dengan negara-negara tetangga. Telurnya antara lain adalah MEA, TPP dan lain sebagainya. MEA atau panjangnya Masyarakat Ekonomi Asean, adalah agenda bareng Indonesia dengan negara-negara di Asia Tenggara untuk melakukan liberalisasi ekonomi juga pengetahuan. Dengan menetasnya MEA invasi pekerja dan intelektual akan terjadi di Indonesia. Yang diharapkan bangsa ini sebenarnya cukup menjanjikan, akan hadirnya pekerja-pekerja Indonesia ke negara-negara di belahan Asia Tenggara. Dengan ini, tingkat pengangguran tidak akan jadi penghambat pembangunan negara. Namun, apakah sedangkal itu yang dipikirkan. Persaingan di pasaran tenaga kerja jelas akan semakin besar. Lowongan kerja pun pasti tidak sukur menerima pekerja. Pekerja yang mengisi lowongan adalah mereka yang berkompetensi dibidang yang dibutuhkan. Biasanya, kompetensi yang dijadikan ukuran adalah riwayat pendidikan dan pengalaman serta skill. Disisi lain, pekerja-pekerja di Indonesia, masih belum mampu terjun di pasar tenaga kerja yang semakin bebas dan besar tersebut. Jelas, dengan keterbatasan pengalaman kerja, skill dan pendidikannya pekerja Indonesia akan kalah dalam arena persaingan. Mungkin nantinya, orang-orang Indonesia, banyak yang menjadi gembel di negara-negara tetangga dan bahkan mereka kemudian didiskriminasikan disana jika tidak mendapatkan pekerjaan.
Dengan senang, keberatan, atau sebenarnya apa yang dirasakan wakil negara dalam kerjasama itu, yang pastinya, Indonesia telah sepakat ikut serta dalam agenda MEA. Akhirnya, Indonesia juga negara lain bersitegang mencari investasi didalam negaranya masing-masing. Investasi yang dicari tidak hanya untuk mengisi lumbung perekonomian. Tapi juga untuk pemberdayaan pendidikan, pengalaman dan keterampilan rakyat Indonesia. Hingga kemudian, bisa bertarung bebas di arena persaingan pasar tenaga kerja.
Nyata, di berbagai lembaga pendidikan tinggi (PT) gencar dibicarakan kelas taraf internasional atau World Class University. Ini adalah respon pendidikan untuk siaga menghadapi gempuran MEA. Namun hal itu tidaklah mudah. WCU (World Class Unversity) adalah standarisasi yang sulit dipenuhi syaratnya bagi pendidikan kita yang masih pada tingkat biasa-biasa saja. Kelayakan hasil penelitian, kualitas lulusan, pengajaran, dan sarana prasarana menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Akhirnya demi mencapai standarisasi tersebut, PT gencar mencari suntikan dana. Dan dengan dana yang didapatkan tidak dari PT bekerja, melainkan pinjam, maka aturan main di PT juga bukan sepenuhnya bentukan PT itu sendiri. Bahayanya lagi, jika PT menarik biaya yang tinggi bagi mahasiswanya. Hal ini akan menjadikan pendidikan kita terkomersilkan. Siapa yang mampu membayar, berkesempatan berpendidikan.
Dari semua kemuakan ini, perlu hadir sosok pahlawan yang menentang segala bentuk penjajahan usang maupun baru. Perjuangan tidak berhenti pada tanggal 17 Agustus 1945 atau saat rampungnya Agresi Militer II. Akan tetapi seterusnya hingga Indonesia ini telah bubar dengan dasar kehendak rakyatnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar